Me'

Me'
Jogyakarta

Senin, 24 Oktober 2011

Askep Hiperemesis Gravidarum

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIPEREMESIS GRAVIDARUM
A. Pengertian
Hiperemesis Gravidarum adalah mual dan muntah berlebihan pada wanita hamil sampai mengganggu pekerjaan sehari-hari karena keadaan umumnya menjadi buruk, karena terjadi dehidrasi. (Rustam Mochtar, 1998)
Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tetapi dapat timbul setiap saat dan bahkan malam hari. Gejala-gejala ini kurang lebih terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid dan berlangsung selama kurang lebih 10 minggu.
Hiperemesis Gravidarum (vomitus yang merusak dalam kehamilan) adalah nausea dan vomitus dalam kehamilan yang berkembang sedemikian luas sehingga terjadi efek sistemik, dehidrasi dan penurunan berat badan. (Ben-Zion, MD, hal : 232)
Hiperemesis diartikan sebagai muntah yang terjadi secara berlebihan selama kehamilan. (Hellen Farrer, 1999, hal : 112)

B.Etiologi
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Frekuensi kejadian adalah 3,5 per 1000 kehamilan. Faktor-faktor predisposisi yang dikemukakan : ( Rustan Mochtar, 1998 )
1.Faktor organik, yaitu karena masuknya vili khoriales dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat kehamilan serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan-perubahan ini serta adanya alergi, yaitu merupakan salah satu respon dari jaringan ibu terhadap janin.
2.Faktor Psikologik.
Faktor ini memegang peranan penting pada penyakit ini. Rumah tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggungan sebagai ibu, dapat menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian kesukaran hidup.
3.Faktor endokrin lainnya : hipertiroid, diabetes, peningkatan kadar HCG dan lain-lain.

C.Patologi
Pada otopsi wanita meninggal karena hiperemesis gravidarum diperoleh keterangan bahwa terjadinya kelainan pada organ-organ tubuh adalah sebagai berikut
1.Hepar  pada tingkat ringan hanya ditemukan degenerasi lemak sentrilobuler tanpa nekrosis.
2.Jantung  jantung atrofi, menjadi lebih kecil dari biasa. Kadang kala dijumpai perdarahan sub-endokardial.
3.Otak  terdapat bercak-bercak perdarahan pada otak dan kelainan seperti pada ensepalopati Wirnicke.
4.Ginjal  ginjal tampak pucat dan degenerasi lemak dapat ditemukan pada tubuli kontorti.

D.Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen yang biasa terjadi pada trimester I. Bila terjadi terus-menerus dapat mengakibatkan dehidrasi dan tidak imbangnya elektrolit dengan alkalosis hipokloremik.
Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena okisidasi lemak yang tak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseto-asetik, asam hidroksida butirik, dan aseton dalam darah. Muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida darah turun. Selain itu, dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang pula tertimbunnya zat metabolik yang toksik. Di samping dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lendir esofagus dan lambung ( sindroma mollary-weiss ), dengan akibat perdarahan gastrointestinal.

E.Tanda dan Gejala
Batas mual dan muntah berapa banyak yang disebut hiperemesis gravidarum tidak ada kesepakatan. Ada yang mengatakan, bila lebih dari sepuluh kali muntah. Akan tetapi, apabila keadaan umum ibu terpengaruh dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum menurut berat ringannya gejala dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1.Tingkatan I (Ringan)
a.Mual muntah terus-menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita.
b.Ibu merasa lemah.
c.Nafsu makan tidak ada.
d.Berat badan menurun.
e.Merasa nyeri pada epigastrium.
f.Nadi meningkat sekitar 100 per menit.
g.Tekanan darah menurun.
h.Turgor kulit berkurang.
i.Lidah mengering.
j.Mata cekung.
2.Tingkatan II (sedang)
a.Penderita tampak lebih lemah dan apatis.
b.Turgor kulit mulai jelek.
c.Lidah mengering dan tampak kotor.
d.Nadi kecil dan cepat.
e.Suhu badan naik ( dehidrasi ).
f.Mata mulai ikteris.
g.Berat badan turun dan mata cekung.
h.Tensi turun, hemokonsentrasi, oliguria, dan kontipasi.
i.Aseton tercium dari hawa pernafasan dan terjadi asetonuria.
3.Tingkatan III ( Berat )
a.Keadaan umum lebih parah (kesadaran menurun dari somnolen sampai koma).
b.Dehidrasi hebat.
c.Nadi kecil, cepat dan halus.
d.Suhu meningkat dan tensi turun.
e.Terjadi komplikasi fatal pada susunan saraf yang dikenalsebagai ensepalopati Wernicke, dengan gejala nistagmus, diplopia, dan penurunan mental.
f.Timbul ikterus yang menunjukkan adanya payah hati.

F.Penanganan
1.Pencegahan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum diperlukan dengan jalan memberikan penerapan tentang kehamiloan dan persalinan sebagai suatu proses yang fisiologi. Hal itu dapat dilakukan dengan cara :
a.Memberikan keyakinan bahwa mual dan muntah merupakan gejala yang fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan berumur 4 bulan.
b.Ibu dianjurkan untuk mengubah pola makan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah kecil tetapi sering.
c.Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi dianjurkan untuk makan roti kering atau biskuit dengan teh hangat.
d.Hindari makan yang berminyak dan berbau lemak.
e.Makan makanan dan minuman yang disajikan jangan terlalu panas ataupun terlalu dingin.
f.Usahakan defekasi teratur.
2.Terapi obat-obatan
Apabila dengan cara di atas keluhan dan gejala tidak berkurang diperlukan pengobatan.
a.Tidak memberikan obat yang teratogen.
b.Sedetiva yang sering diberikan adalah Phenobarbital.
c.Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6.
d.Anthistaminika seperti dramamin, avomin.
e.Pada keadaan berat, antiemetik seperti disiklomin hidrokhloride atau khlorpromasin.
3.Hiperemesis gravidarum tingkatan II dan III harus dirawat inap di rumah sakit.
Adapun terapi dan perawatan yang diberikan adalah sebagai berikut :
a.Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi cerah, dan peredaran udara baik. Jangan terlalu banyak tamu, kalau perlu hanya perawat dan dokter saja yang boleh masuk. Catat cairan yang keluar dan masuk. Kadang-kadang isolasi dapat mengurangi atau menghilangkan gejala ini tanpa pengobatan.
b.Terapi psikologik
Berikan pengertian bahwa kehamilan adalah suatu hal yang wajar, normal, dan fisiologis, jadi tidak perlu takut dan khawatir. Yakinkan penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan dan dihilangkan masalah atau konflik yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini.
c.Terapi parental
Berikan cairan parental yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam fisiologik sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambah kalium dan vitamin, khususnyvitamin B kompleks dan vitamin C dan bila ada kekurangan protein, dapat diberikan pula asam amino secara intravena. Buat dalam daftar kontrol cairan yang masuk dan dikeluarkan. Berikan pula obat-obatan seperti yang telah disebutkan di atas.
d.Terminasi kehamilan
Pada beberapa kasus keadaan tidak menjadi baik, bahkan mundur. Usahakan mengadakan pemeriksaan medik dan psikiatrik bila keadaan memburuk. Delirium, kebutaan, takhikardi, ikterius, anuria, dan perdarahan merupakan manifestasi komplikasi organik. Dalam keadaan demikian perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan. Keputusan untuk melakukan abortus terapeutik sering sulit diambil, oleh karena di satu pihak tidak boleh dilakukan terlalu cepat, tetapi di lain pihak tidak boleh menunggu sampai terjadi gejala irreversibel pada organ vital.

G. Prognosis
Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat mamuaskan. Penyakit ini biasanya dapat membatasi diri, namun demikian pada tingkatan yang berat, penyakit in dapat mengancam jiwa ibu dan janin.

I.Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1.Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Pengeluaran nutrisi yang berlebihan dan intake kurang.
Tujuan :
a.Menjelaskan komponen diet seimbang prenatal, memberi makanan yang mengandung vitamin, mineral, protein dan besi.
b.Mengikuti diet yang dianjurkan.
c.Mengkonsumsi suplemen zat besi / vitamin sesuai resep.
d.Menunjukkan penambahan berat badan yang sesuai ( biasanya 1,5 kg pada ahir trimester pertama )
Intervensi :
a.Tentukan keadekuatan kebiasaan asupan nutrisi dulu / sekarang dengan menggunakan batasan 24 jam. Perhatikan kondisi rambut, kulit dan kuku.
b.Dapatkan riwayat kesehatan ; cacat usia ( khususnya kurang dari 17 tahun, lebih dari 35 tahun).
c.Pastikan tingkat pengetahuan tentang kebutuhan diet.
d.Berikan informasi tertulis / verbal yang tepat tentang diet pranatal dan suplemen vitamin / zat besi setiap hari.
e.Evaluasi motivasi / sikap dengan mendengar keterangan klien dan meminta umpa balik tentang informasi yang di berikan.
f.Tanyakan keyakinan berkenaan dengan diet sesuai budaya dan hal – hal tabu selama kehamilan.
g.Perhatikan adanya pika/mengidam. Kaji pilihan bahwa bukan makanan dan itngkat moitvasi untuk memakannya.
h.Timbang berat badan klien ; pastikan berat badan pregravid biasanya. Berikan informasi tentang penambahan prenatal yang optimum.
i.Tinjau ulang frekuensi dan beratnya mual/muntah. Kesampingkan muntah pernisiosa (hiperemesis gravidarum)
j.Pantau kadar hemoglobin (Hb)/Hematokrit (Ht)
k.Tes urine terhadap aseton, albumin, dan glukosa.
l.Ukur pembesaran uterus.
m.Buat rujukan yang perlu sesuai idikasi ( misal pada ahli diet,pelayanan social )
n.Rujuk pada program makanan Wanita, Bayi, Anak – anak dengan tepat.
2.Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d kehilangan cairan.
Tujuan :
a.Mengidentifikasi dan melakukan tindakan untuk menurunkan frekuensi dan keparahan mual/muntah.
b.Mengkonsumsi cairan dengan jumlah yang sesuai setiap hari.
c.Mengidenifikasi tanda-tanda dan gejala-gejala dehidrasi yang memerlukan tindakan.
Intervensi :
a.Auskultasi denyut jantung janin ( DJJ ).
b.Tenutkan frekuensi/ beratnya mual/muntah.
c.Tinjau ulang riwayat kemungkinan masalah medis lain (miasal; ulkus peptikum, gastritis, kolesistisis).
d.Anjurkan klien memperahankan masukan/keluaran, tes urin,dan penurunan bert badan setiap hari.
e.Kaji suhu dan turgor kulit, membrane mukosa, tekanan darah (TD), suhu, masukan/keluaran,daan berat jenis urine. Timbang berat badan klien daan banidngkan dengan standar.
f.Anjurkan penigkatan mauskan minian berkarbonat, makan enam kali sehari dengan jumlah yang sedikit, dan makanan tinggi karbohidrat (mis; popcorn,roti kering sebelum bangun tidur).
3.Gangguan citra diri b.d perubahan penampilan sekunder akibat kehamilan
Tujuan :
a.Membuat gambaran diri lebih nyata
b.Mengakui diri sebagai individu
c.Menerima tanggung jawab untuk tindakan sendiri.
Intervensi :
a.Buat hubungan terapeutik perawat/pasien
b.Tingkatkan Konsep diri tanpa penilaian moral
c.Biarkan pasien menggambarkan dirinya sendiri.
d.Nyatakan aturan dengan jelas tentang jadwal penimbangan,tetap melihat waktu makan dan minum obat, dan konsekuensi bila tak mengikuti aturan.
e.Beri respon terhadap kenyataan bila pasien membuat penyataan tidak relistis seperti “ saya meningkatkan berat badan ;jadi saya benar-benar tidak apa-apa “.
f.Sadari reaksi sendiri terhadap perilaku pasien. Hindari perdebatan.
g.Bantu pasien untuk melakuakn kontrol pada area selain dari makan/penurunan berat badan. Missal : manajemen aktivitas harian, pilihan kerja/kesenangan.
4.Intoleransi aktivitas b.d kelemahan tubuh, penurunan metabolisme sel.
Tujuan :
a.Melaporkan peningkatan rasa sejahtera/tingkat energi.
b.Mendemonstrasikan peningkatan aktivitas fisik yang dapat diukur.
Intervensi :
a.Pantau respon fisiologis terhadap aktivitas, missal ; perubahan TD atau frekuensi jantung/pernafasan.
b.Buat tujuan aktivitas realistis dengan pasien.
c.Rencanakan perawatan untuk memungkinkan periode istirahat.Jadwalkan aktivitas untuk periode bila pasien mempunyai banyak energi. Libatkan pasien/orang terdekat dalam perencanaan jadwal.
d.Dorong pasien untuk melakukan kapanpun mungkin, misal ; perawatan diri, bangin dari kursi, berjalan.
e.Beriakn latihan rentang gerak pasif/aktif pada pasien yang terbaring di tempat tidur.
f.Pertahankan tempat tidur pada posisi rendah, singkirkan perabotan, bantu ambulasi.
g.Berikan O2 suplemen sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

- Doengoes, Marilyn E. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. Jakarta : EGC
- Wolf, weitzel,Fuerst.1984. Dasar – Dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Gunung Agung.
- Hamilton, Persis Mary. 1995. Dasar – Dasar Keperawatan Maternitas edisi 6. Jakarta : EGC
- Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obsteri jilid I. Jakarta : EGC.
- Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid I. Jakarta : Media Acculapius.
- Teber, Ben-Zian. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC
- Prawiroharjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta ; Tridasa Printer.

Abses Perianal

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat itu sebenarnya harus diupayakan, dibina dan dipelihara agar benar-benar tumbuh partisipasi semua pihak dalam peran serta mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-undang nomor 36 tentang Kesehatan pada pasal 1 yang berbunyi “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis” (Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, 2010).
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komunikatif yang ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Kusnanto, 2004, hal 29).
Sehat berarti bukan hanya bebas dari penyakit, tetapi meliputi seluruh kehidupan manusia, termasuk aspek sosial, psikologis, spiritual, faktor-faktor lingkungan, ekonomi, pendidikan dan rekreasi. Sehat merupakan suatu keadaan yang terdapat pada masa tumbuh kembang manusia. Sehat mencakup manusia seutuhnya meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual. Sedangkan pengertian sakit adalah kegagalan atau gangguan dalam proses tumbuh kembang, gangguan fungsi tubuh dan penyesuaian diri manusia secara keseluruhan, atau gangguan salah satu fungsi tubuh (Murwani, 2008, hal 151-152).
Pengertian sehat sakit tersebut di atas menunjukkan bahwa suatu individu mengalami gangguan dalam melakukan fungsinya. Dengan adanya gangguan tersebut, salah satu dari sekian banyak faktor penghambat pencapaian derajat kesehatan yang optimal adalah penyakit, diantaranya gangguan pada gastrointestinal seperti abses perianal.
Prevalensi abses anal dan fistula pada populasi umum mungkin jauh lebih tinggi dibandingkan yang terlihat dalam praktik klinis karena mayoritas pasien dengan gejala referable untuk anorektum tersebut tidak mencari perhatian medis. Insiden fistula anal berkembang dari abses anus berkisar 26-38 persen (Breen, 2011, hal 1).
Insiden abses perianal diperkirakan antara 68.000 dan 96.000 kasus per tahun di Amerika Serikat. Usia rata-rata untuk presentasi abses perianal adalah 40 tahun (kisaran 20 sampai 60 tahun). Laki-laki dewasa dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan abses dan /atau fistula dibandingkan dengan wanita, Insiden dan epidemiologi abses perianal dipelajari antara penduduk Kota Helsinki selama periode 10 tahun, 1969-1978. Kejadian rata-rata per 100.000 penduduk adalah 12,3% untuk pria dan 5,6% untuk perempuan (Breen, 2011, hal 1).
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUD Tarakan jumlah penderita abses perianal pada tahun 2009 adalah 0%, dan pada tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 tidak ditemukan adanya penderita abses perianal (0%).
Karena kasus ini merupakan kejadian yang langka maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada Tn. J dengan gangguan sistem gastrointestinal di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan judul abses perianal post debridement.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini terdiri dari tujuan umum dan khusus :
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada penderita abses perianal post debridement secara konservatif tanpa menimbulkan komplikasi.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu melaksanakan proses keperawatan pada Tn. J dengan abses perianal post debridement di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan.
b. Membandingkan antara teori dan praktek asuhan keperawatan klien Tn. J dengan abses perianal post debridement di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan.
c. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam melaksanakan proses keperawatan klien Tn. J dengan abses perianal post debridement di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan.
d. Melaksanakan pemecahan masalah pada klien Tn. J dengan abses perianal post debridement di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan.
C. Ruang lingkup
Ruang lingkup karya tulis ilmiah ini mencakup asuhan keperawatan pada Tn. J yang dirawat di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan dengan diagnosa abses perianal post debridement melalui proses keperawatan secara komprehensif.
D. Metode Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan studi kasus yang menggunakan pendekatan proses keperawatan yang komprehensif. Metode ini memberikan gambaran tentang keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung, dan semua kegiatan hanya memusatkan perhatian pada satu kasus secara intensif, dimulai dari pengumpulan data, analisa data, rumusan masalah, intervensi serta implementasi dan evaluasi dari pelaksanaan asuhan keperawatan.
Adapun tehnik pengumpulan data :
1. Observasi
Pada tahap ini dilakukan suatu pengamatan secara visual atau secara langsung pada klien.
2. Wawancara
Melalui sebuah komunikasi secara langsung tatap muka dengan klien, dengan harapan mendapat respon dari klien. Disamping itu wawancara juga dapat dilakukan pada keluarga, dokter, perawat dan tim kesehatan lainnya dengan harapan mendapatkan informasi yang berhubungan dengan klien.
3. Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi dengan mengadakan pengamatan langsung dengan orang yang diperiksa, palpasi dengan cara meraba organ yang diperiksa, perkusi dengan melakukan pengetukan dengan menggunakan jari telunjuk atau hamer pada pemeriksaan neurologis dan auskultasi dengan mendengarkan bunyi bagian organ yang diperiksa.
4. Tehnik studi dokumentasi
Menggunakan dokumen yang berhubungan dengan judul karya tulis ini, seperti catatan medis, catatan keperawatan dan lain sebagainya.
5. Studi kepustakaan
Menggunakan bahan yang ada kaitannya dengan judul karya tulis ini, berupa buku-buku, jurnal dan lain-lain yang berkaitan dengan karya tulis ini.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini terdiri dari lima bab yang secara sistematis disusun menurut urutan sebagai berikut :
Bab Satu, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab Dua, berisikan landasan teori yang meliputi dua bagian pertama konsep dasar penyakit yang terdiri dari pengertian, anatomi sistem pencernaan, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pengobatan, pemeriksaan penunjang dan komplikasi serta penyimpangan KDM pada kasus abses perianal. Sedangkan bagian kedua adalah asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara teoritis.
Bab Tiga, tinjauan kasus yang menguraikan tentang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai judul dan laporan dalam bentuk proses keperawatan yang meliputi pengkajian, rumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proses yang memuat data subyektif dan data obyektif secara komperehensif serta penyimpangan KDM berdasarkan kasus.
Bab Empat, pembahasan yang menguraikan analisa data terhadap hasil kajian dengan mencantumkan teori-teori yang mengacu pada hal-hal yang perlu untuk dibahas serta difokuskan pada keterkaitan dan kesenjangan antara kasus dengan teori-teori yang telah dipelajari.
Bab Lima, penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Medis
1. Pengertian
Abses perianal adalah infeksi pada ruang pararektal. Abses ini kebanyakan akan mengakibatkan fistula (Smeltzer dan Bare, 2001, hal 1137).




Gambar 2.1 Abses Perianal (Sumber : Gunawan, Eddy. 2010. Abses Anorektal).
Abses anorektal merupakan infeksi yang terlokalisasi dengan pengumpulan nanah pada daerah anorektal. Organisme penyebab biasanya adalah Escherichia coli, stafilokokus, atau streptokokus (Price dan Wilson, 2005, hal 468).
Abses perianal adalah infeksi pada jaringan lunak di sekitar lubang anus dengan pembentukan abses rongga sekret. Keparahan dan kedalaman abses cukup variabel, dan rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous (Emedicinehealth, 2011, hal 1).
Abses anorektal merupakan suatu pengumpulan nanah yang disebabkan masuknya bakteri ke ruangan di sekitar anus dan rektum (Gunawan, 2010, hal 1).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses anorektal atau abses perianal adalah rongga yang berisi nanah atau pus yang terletak pada anorektal yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.
2. Anatomi Fisiologi
Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut dimulai dari : rongga mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum, anus.

Gambar 2.2 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan (Sumber : Biofarmasiumi. 2010. Anatomi Sistem Pencernaan)
a. Mulut (oris)
Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang rahang dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot pipi, serta sebelah bawah oleh rahang bawah.

1) Gigi (dentis)
Fungsi : berperan dalam proses mastikasi (pengunyahan).
Bagian-bagian gigi adalah sebagai berikut:
a) Mahkota gigi : dilapisi oleh email dan di dalamnya terdapat dentin (tulang gigi).
b) Tulang gigi : terletak di bawah lapisan email.
c) Rongga gigi : berada di bagian dalam gigi. Di dalamnya terdapat pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan saraf.
2) Lidah (lingua)
Lidah berfungsi untuk membantu mengunyah makanan yakni dalam hal membolak-balikkan makanan dalam rongga mulut, membantu dalam menelan makanan, sebagai indera pengecap, dan membantu dalam berbicara.
Sebagai indera pengecap, pada permukaan lidah terdapat badan sel saraf perasa (papila). ada tiga bentuk papila, yaitu:
a) Papila fungiformis
b) Papila filiformis.
c) Papila serkumvalata
3) Kelenjar Ludah
Kelenjar ludah menghasilkan saliva. Saliva mengandung enzim ptyalin atau amylase dan ion natrium, klorida, bikarbonat, dan kalium.

Fungsi saliva adalah :
a) melarutkan makanan secara kimia
b) melembabkan dan melumasi makanan
c) mengurai zat tepung menjadi polisakarida dan maltose
d) zat buangan
e) zat antibakteri dan antibodi
Kelenjar ludah terdiri atas tiga pasang sebagai berikut:
a) Kelenjar sublingual adalah kelenjar saliva yang paling kecil, terletak di bawah lidah bagian depan.
b) Kelenjar submandibular terletak di belakang kelenjar sublingual dan lebih dalam.
c) Kelenjar parotid adalah kelenjar saliva paling besar dan terletak di bagian atas mulut depan telinga.
b. Esofagus (kerongkongan)
Esofagus merupakan saluran sempit berbentuk pipa yang menghubungkan faring dengan lambung (gaster). Yang panjang kira-kira 25 cm, diameter 2,5 cm. pH cairannya 5-6.
Fungsi : menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristalsis.
c. Lambung (gaster)
Lambung merupakan organ berbentuk J yang terletak di bawah rusuk terakhir sebelah kiri. Yang panjangnya 20 cm, diameternya 15 cm, pH lambung 1-3,5. Lambung terdiri atas kardiak, fundus, badan lambung, antrum, kanal pylorus, dan pylorus.
1) Getah lambung mengandung:
a) Asam klorida (HCl). Berfungsi sebagai desinfektan, mengasamkan makanan dan mengubah pepsinogen menjadi pepsin.
b) Rennin, merupakan enzim yang berfungsi mengendapkan kasein (protein susu) dari air susu.
c) Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi polipeptida.
d) Lipase, berfungsi untuk mencerna lemak.
2) Adapun fungsi lambung adalah:
a) Penyimpan makanan
b) Memproduksi kimus
c) Digesti protein
d) Memproduksi mucus
e) Memproduksi glikoprotein
f) Penyerapan
d. Usus halus (Intestinum tenue)
Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan yang panjangnya sekitar 6 m berdiameter sekitar 2,5 cm. sedangkan pHnya 6,3 – 7,6. Dinding usus halus terdiri atas tiga lapis, yaitu tunica mucosa, tunica muscularis, dan tunika serosa. Tunica muscularis merupakan bagian yang menyebabkan gerakan usus halus.
1) Fungsi usus halus :
a) Mengakhiri proses pencernaan makanan. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan enzim pangkreas serta dibantu empedu dalam hati.
b) Usus halus secara selektif mengabsorbsi produk digesti.
2) Usus halus dibedakan menjadi tiga bagian,yaitu:
a) Deudenum (usus dua belas jari). Deudenum panjangnya sekitar 25 cm, diameternya 5 cm.
b) Jejunum (usus kosong). Panjangnya sekitar 1 m sampai 1,5 m, diameternya 5 cm.
c) Ileum (usus belit/usus penyerapan). Panjangnya sekitar 2 m sampai 2,5 m, diameternya 2,5 cm.
3) Kelenjar-kelenjar usus menghasilkan enzim-enzim pencernaan, yaitu :
a) Peptidase, berfungsi mengubah peptide menjadi asam amino
b) Sukrase, berfungsi mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
c) Maltase, berfungsi mengubah maltose menjadi glukosa
d) Laktase, berfungsi mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.

e. Usus besar (colon)
Usus besar adalah saluran yang berhubung dengan bagian usus halus (ileum) dan berakhir dengan anus. Yang panjangnya sekitar 1,5 m dan diameternya kurang lebih 6,3 cm. pH nya 7,5-8,0.
1) Fungsi dari usus besar adalah :
a) Mengabsorbsi 80 % sampai 90 % air dan elektrolit dari kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat.
b) Memproduksi mucus
c) Mengeksresikan zat sisa dalam bentuk feses.
2) Usus besar dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Coecum. Merupakan pembatas antara ileum dengan kolon.
b) Kolon. Pada kolon terjadi gerakan mencampur isi kolon dengan gerakan mendorong.
Pada kolon ada tiga divisi yaitu :
(1) Kolon asendens; yang merentang dari coecum sampai ke tepi bawah hati disebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
(2) Kolon transversum ; merentang menyilang abdomen ke bawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah pada fleksura spienik.
(3) Kolon desendens; merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rectum.
c) Rectum. Merupakan tempat penampungan sementara feses sebelum dibuang melalui anus. Yang panjangnya 12-13 cm.
f. Anus
Anus merupakan lubang pada ujung saluran pencernaan. Pada anus terdapat dua macam otot, yaitu:
1) Sfingter anus internus; bekerja tidak menurut kehendak.
2) Sfingter anus eksterus; bekerja menurut kehendak.
Proses pengeluaran feses di sebut defekasi. Setelah rektum terenggang karena terisi penuh, timbul keinginan untuk defekasi (Biofarmasiumi, 2010, hal 1-7).
3. Etiologi
Umum bakteri seperti stafilokokus dan Escherichia coli adalah penyebab paling umum. Infeksi jamur kadang-kadang menyebabkan abses (Emedicinehealth, 2011, hal 1).
Masuknya bakteri ke daerah sekitar anus dan rektum (Eddy Gunawan, 2010, hal 1).
4. Patofisiologi
Abses perianal terbentuk akibat berkumpulnya nanah di jaringan bawah kulit daerah sekitar anus. Nanah terbentuk akibat infeksi kuman/bakteri karena kelenjar di daerah tersebut tersumbat. Bakteri yang biasanya menjadi penyebab adalah Escherichia coli dan spesies Enterococcus.
Kuman/bakteri yang berkembang biak di kelenjar yang tersumbat lama kelamaan akan memakan jaringan sehat di sekitarnya sehingga membentuk nanah. Nanah yang terbentuk makin lama makin banyak sehingga akan terasa bengkak dan nyeri, inilah yang disebut abses perianal.
Pada beberapa orang dengan penurunan daya tubuh misalnya penderita diabetes militus, HIV/AIDS, dan penggunaan steroid (obat anti radang) dalam jangka waktu lama, ataupun dalam kemoterapi akibat kanker biasanya abses akan lebih mudah terjadi (Selatan, 2008, hal 1).
5. Tanda dan gejala
Abses dapat terjadi pada berbagai ruang di dalam dan sekitar rektum. Seringkali mengandung sejumlah pus berbau menyengat dan nyeri. Apabila abses terletak superficial, maka akan tampak bengkak, kemerahan, dan nyeri tekan. Abses yang terletak lebih dalam memgakibatkan gejala toksik dan bahkan nyeri abdomen bawah, serta deman. Sebagian besar abses rectal akan mengakibatkan fistula (Smeltzer dan Bare, 2001, hal 468).
Abses di bawah kulit bisa membengkak, merah, lembut dan sangat nyeri. Abses yang terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja tidak menyebabkan gejala, namun bisa menyebabkan demam dan nyeri di perut bagian bawah (Healthy of The Human, 2010, hal 1).
6. Pengobatan
Antibiotik memiliki nilai terbatas kecuali pada penderita yang mengalami demam, kencing manis atau infeksi di bagian tubuh lainnya. Biasanya, pengobatan terdiri dari suntikan dengan bius lokal, membuka abses dan mengeluarkan nanahnya. Kadang-kadang, penderita dirawat dan mendapatkan pembiusan total sebelum dokter membuka dan mengeringkan abses. Setelah semua nanah dibuang, bisa terbentuk terowongan abnormal yang menuju ke kulit (fistula anorektal) (Gunawan, 2010, hal 1).
7. Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT scan atau MRI (Healthy of The Human, 2010, hal 2).
8. Komplikasi
Jika tidak diobati, fistula anus hampir pasti akan membentuk, menghubungkan rektum untuk kulit. Hal ini memerlukan operasi lebih intensif. Selanjutnya, setiap abses diobati dapat (dan kemungkinan besar akan) terus berkembang, akhirnya menjadi infeksi sistemik yang serius. Hal yang paling ditakutkan pada abses perianal adalah terjadinya fistel perianal. Fistel perianal adalah saluran abnormal antara lubang anus/rektum dengan lubang bekas abses yang bermuara pada kulit sekitar anus. Muara pada kulit sekitar anus tampak sebagai luka bekas bisul yang tidak pernah menutup/sembuh dan tidak sakit (Selatan, 2008, hal 2).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan yang komperehensif pada klien abses perianal post debridement hari dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien yang dilaksanakan secara bio-psiko, sosial dan spiritual dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Proses keperawatan adalah proses yang terjadi dari lima tahap, yaitu : pengkajian, analisa masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi, evaluasi. Proses keperawatan menyediakan pendekatan pemecahan masalah yang logis dan teratur untuk memberikan asuhan keperawatan sehingga kebutuhan pasien dipenuhi secara komprehensif dan efektif (Dongoes, 2000, hal 8).
Dalam proses keperawatan terdapat lima tahapan yang spesifik mencakup pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data prima), data yang didapat dari orang lain (data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat, atau anggota tim kesehatan merupakan pengkajian data dasar. Pengumpulan data menggunakan berbagai metode seperti observasi (data yang dikumpulkan berasal dari pengamatan), wawancara (bertujuan untuk mendapatkan respon dari klien dengan cara tatap muka), konsultasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, ataupun pemeriksaan tambahan.
Menurut Potter dan Perry (1997) pengkajian adalah proses sistematis berupa pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien.
Sedangkan menurut Carpenito dan Moyet (2007) pengkajian merupakan tahap yang sistematis dalam pengumpulan data tentang individu, keluarga dan kelompok (Haryanto, 2008, hal 19).
Tujuan pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa sehingga ditemukan data keperawatan (Perry dan Potter, 2005, hal 144).
Menurut Doengoes (2000), fokus pengkajian yang perlu dilakukan pada klien dengan intervensi bedah secara umum adalah:
a. Sirkulasi
Gejala :
Riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer, atau statis vaskular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis.
Tanda : Tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang.
c. Makanan/cairan
Gejala :
Insufisiensi pankreas/DM (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis)
Malnutrisi (termasuk obesitas).
Membran mukosa yang kering (pembatasan pemasukan/periode puasa praoperasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok
e. Keamanan
Gejala :
Alergi atau sensitif terhadap obat, makanan, plester, dan larutan
Defisiensi imum (peningkatan risiko infeksi sistemik dan penundaan penyembuhan).
Munculnya kanker/terapi kanker terbaru
Riwayat keluarga tentang hipertermia malignan/reaksi anestesi
Riwayat penyakit hepatik (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi)
Riwayat transfusi darah/reaksi transfusi
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkan; demam

f. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
Penggunaan antikoagulasi, steroid, antibiotik, antihipertensi, kardiotonik glikosid, antidistritmia, bronkdilator, diuretik, dekongestan, analgesik, antiinflamsi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional.
Penggunaan alkohol (risiko akan kerusakan ginjal yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anestesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pascaoperasi).
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan baik aktual atau potensial. Dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memeberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, dan mencegah terjadinya komplikasi (Doenges, 2000, hal 8).
Sedangkan menurut Doengoes (2000) diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi. Diagnosa ini mencatat bagaimana situasi pada saat itu dan harus mencerminkan perubahan yang terjadi pada kondisi pasien. Identifikasi masalah dan penentuan diagnosa yang akurat memberikan dasar untuk memilih intervensi keperawatan yang tepat.
Adapun komponen diagnosa keperawatan terdiri dari:
P : keadaan klien (masalah kesehatan) gambaran keadaan klien dimana terapi keperawatan harus diberikan.
E : Penyebab masalah meliputi bio, psiko, sosial, dan spiritual.
S : Mengartikan ciri atau tanda dan gejala yang bersifat spesifik dari
respon klien yang dapat diukur.
Menurut Dongoes (2000), adapun diagnosa keperawatan pada klien dengan intervensi bedah secara umum adalah :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan perseptual/kognitif; peningkatan ekspansi paru, energi; obstruksi trakeobronkial.
b. Perubahan persepsi/sensori; perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obatan farmasi, hipoksia; lingkungan terapeutik yang terbatas: stimulus sensori yang berlebihan; stres fisiologis.
c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa mual); hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti melalui kateter, selang, jalur normal seperti muntah; pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah; usia dan berat badan yang berlebihan.
d. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot, trauma muskuloskeletal/tulang; munculnya saluran dan selang.
e. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan interupsi mekanis pada kulit/jaringan; perubahan sirkulasi, efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drain; perubahan status metabolis.
f. Resiko tinggi terhadap/perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran vena, arteri; hipervolemik.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi; tidak mengenal sumber informasi; keterbatasan kognitif.
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka disusunlah rencana keperawatan. Perencanaan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan. Yang dimulai setelah data-data terkumpul setelah dianalisa. Pada bagian ini ditemukan sasaran yang akan dicapai dan rencana tindakan keperawatan dikembangkan.
Tahap dari perencanaan terdiri dari :
a. Menetapkan prioritas masalah berdasarkan pola kebutuhan dasar manusia menurut Hirarki Maslow.
b. Merumuskan tujuan keperawatan yang dicapai.
c. Menetapkan kriteria evaluasi.
d. Merumuskan rencana intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan.
Dalam menentukan rencana keperawatan pada klien harus ditetapkan tujuan yang hendak dicapai baik tujuan jangka panjang maupun tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang diharapkan dicapai lebih dari beberapa minggu atau bulan. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah tujuan yang diharapakan dapat dicapai sebagai acuan untuk mencapai tujuan jangka panjang (Doenges, 2000, hal 9).
Dalam menentukan kriteria hasil harus dibuat berdasarkan pada komponen-komponen sebagai berikut :
a. Spesifik (dilakukan harus klien dan keluarganya).
b. Measurable (dapat diukur).
c. Achievable ( harus dapat dicapai).
d. Reasonable (nyata).
e. Time (menggunakan batas waktu dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek).
Menurut Doenges (2000) intervensi keperawatan pada klien dengan intervensi bedah secara umum sebagai berikut :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan perseptual/kognitif; peningkatan ekspansi paru, energi; obstruksi trakeobronkial.
Tujuan dan kriteria hasil :
Menerapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-tanda hipoksia lainnya.
Intervensi :
1) Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang, aliran udara, faringeal oral.
Rasional : mencegah obstruksi jalan napas.
2) Auskultasi suara napas, dengarkan adanya kumur-kumur, mengi, crow, dan/atau keheningan setelah ekstubasi.
Rasional : kurangnya suara napas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau lidah dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi ataupun penghisapan.
3) Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan dan jenis pembedahan.
Rasional : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
4) Observasi pengembalian fungsi otot, terutama otot-otot pernapasan.
Rasional : setelah pemberian obat-obat relaksasi otot selama masa intraoperatif, pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada diafragma, otot-otot interkostal, dan laring yang akan diikuti dengan relaksasi kelompok otot-otot utama seperti leher, bahu, dan otot-otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot-otot berukuran sedang seperti lidah, faring, otot-otot ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut, wajah dan jari-jari tangan.
5) Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan.
Rasional : obstruksi jalan napas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea.
6) Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anestesi dan mendorong pengeluaran gas tersebut melalui zat-zat inhalasi.
b. Perubahan persepsi/sensori; perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obatan farmasi, hipoksia; lingkungan terapeutik yang terbatas: stimulus sensori yang berlebihan; stres fisiologis.
Tujuan dan kriteria hasil :
1) Meningkatkan tingkat kesadaran
2) Mengenali keterbatasan diri dan mencari sumber bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
1) Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, lakukan pengikatan jika diperlukan.
Rasional : berikan keamanan bagi pasien selama tahap darurat, mencegah terjadinya cedera pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan perlawanan selama masa disorientasi.
2) Periksa aliran infus, selang endotrakeal, kateter, bila dipasang dan pastikan kepatenannya.
Rasional : pada pasien yang mengalami disorientasi, mungkin akan terjadi bendungan pada aliran infus dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas, atau tertekuk.
3) Pertahankan lingkungan yang nyaman dan tenang
Rasional : stimulasi eksternal seperti suara bising, cahaya, sentuhan mungkin menyebabkan abrasi psikis ketika terjadi disosiasi obat-obatan anestesi yang telah diberikan (misalnya obat ketamin).
4) Kaji kembali pengembalian kemampuan sensorik dan proses berfikir untuk persiapan pulang sesuai indikasi.
Rasional : pasien yang mengalami pembedahan dan telah melakukan ambulasi harus dapat merawat dirinya sendiri dengan bantuan orang yang dekat untuk mencegah terjadinya perlukaan setelah pulang.
5) Pertahankan untuk tinggal di dalam ruang pascaoperasi sebelum pulang.
Rasional : masa disorientasi mungkin timbul dan orang yang dekat dengan pasien mungkin tidak akan dapat menolong pasien apabila ini terjadi dirumah.
c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa mual); hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti melalui kateter, selang, jalur normal seperti muntah; pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah; usia dan berat badan yang berlebihan.
Tujuan dan kriteria hasil :
Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat, sebagaimana ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda vital stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan pengeluaran urine individu yang sesuai.
Intervensi :
1) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran (termasuk pengeluaran cairan gastrointestinal). Tinjau ulang catatan intraoperasi.
Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.
2) Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.
Rasional : mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelah prosedur pada sistem genitourinarius dan/atau struktur yang berdekatan (misalnya ureteroplasti, ureterolitotomi, histeroktomi abdominal ataupun vaginal), mengindikasikan malfungsi atau obstruksi sistem urinarius.
3) Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : hipotensi, takikardi, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan cairan, misalnya dehidrasi/hipovolemia.
4) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
5) Berikan cairan parenteral, produksi darah dan/atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.
Rasional : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggantian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidakseimbangan elektrolit, dehidrasi, pingsan kardiovaskuler.
d. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot, trauma muskuloskeletal/tulang; munculnya saluran dan selang.
Tujuan dan kriteria hasil
1) Mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol/dihilangkan.
2) Tampak santai, dapat beristirahat/tidur dan ikut serta dalam aktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi :
1) Evaluasi rasa sakit secara reguler (misalnya 2 jam x 12) catat karakteristik, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
Rasional : sediakan informasi mengenai kebutuhan/efektivitas intervensi.
2) Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, hipertensi dan peningkatan pernapasan, bahkan jika pasien menyangkal adanya rasa sakit.
Rasional : dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan.
3) Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai indikasi.
Rasional : pahami penyebab ketidaknyamanan (misalnya sakit otot dan pemberian suksinilkolin dapat bertahan 48 jam pascaoperasi, sakit kepala sinus yang diasosiasikan dengan nitrus oksida dan sakit tenggorok dan sediakan jaminan emosional.
4) Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi fowler; miring.
Rasional : mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi fowler dapat mengurangi ketegangan otot abdominal dan otot punggung artritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal.
5) Berikan obat sesuai petunjuk; Analgesik IV
Rasional : analgesik IV akan dengan segera mencapai pusat rasa sakit, menimbulkan penghilangan yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.
e. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan interupsi mekanis pada kulit/jaringan; perubahan sirkulasi, efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drein; perubahan status metabolis.
Tujuan dan kriteria hasil :
1) Mencapai penyembuhan luka.
2) Mendemonstrasikan tingkah laku/tehnik untuk meningkatkan kesembuhan dan untuk mencegah komplikasi.
Intervensi :
1) Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka.
Rasional : menurunnya cairan menandakan adanya evolusi dari proses penyembuhan, apabila pengeluaran cairan terus menerus atau adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya komplikasi (misalnya pembentukan fisula, perdarahan, infeksi).
2) Tinggikan daerah yang dioperasi sesuai kebutuhan.
Rasional : meningkatkan pengembalian aliran vena dan menurunkan pembentukan adema.
3) Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan bantal selama batuk atau bergerak.
Rasional : menetralisasi tekanan pada luka, meminimalkan resiko terjadinya ruptur/dehisens.
4) Ingatkan pasien untuk tidak menyentuh daerah luka.
Rasional : mencegah kontaminasi luka.
5) Bersihkan permukaan kulit dengan menggunakan hidrogen peroksida atau dengan air yang mengalir dan sabun lunak setelah daerah insisi ditutup.
Rasional : menurunkan kontaminasi kulit, membantu dalam membersihkan eksudat.
6) Irigasi luka; bantu dengan melakukan debridemen sesuai kebutuhan.
Rasional : membuang jaringan nekrotik/luka eksudat untuk meningkatkan penyembuhan.
f. Resiko tinggi terhadap/perubahanperfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran vena, arteri; hipervolemik.
Tujuan dan kriteria hasil :
Mendemonstrasikan adanya perfusi jaringan yang adekuat dengan tanda-tanda vital yang stabil, adanya denyut nadi perifer yang kuat; kulit hangat/kering; kesadaran normal, dan pengeluaran urinarius individu yang sesuai.



Intervensi :
1) Ubah posisi secara perlahan ditempat tidur dan pada saat pemindahan (terutama pada pasien yang mendapatkan obat anestesi Fluothane).
Rasional : mekanisme vasokontriksi ditekan dan akan bergerak dengan cepat pada kondisi hipotensi.
2) Bantu latihan rentang gerak, meliputi latihan aktif kaki dan lutut.
Rasional : menstimulasi sirkulasi perifer, membantu mencegah terjadinya vena statis sehingga menurunkan resiko pembentukan trombus.
3) Bantu dengan ambulasi awal.
Rasional : meningkatkan sirkulasi dan mengembalikan fungsi normal organ.
4) Kaji ekstremitas bagian bawah seperti adanya eritema, tanda homan positif.
Rasional : sirkulasi mungkin harus dibatasi untuk beberapa posisi selama proses operasi, sementara itu obat-obatan anestesi dan menurunnya aktivitas dapat mengganggu tonusitas vasomotor, kemungkinan bendungan vaskuler dan peningkatan risiko pembentukan trombus.
5) Pantau tanda-tanda vital; palpasi denyut nadi perifer, catat suhu/warna kulit dan pengisian kapiler. Evaluasi waktu dan pengeluaran cairan urine.
Rasional : merupakan indikator dari volume sirkulasi dan fungsi organ/perfusi jaringan yang adekuat.
6) Beri cairan IV/produk-produk darah sesuai kebutuhan.
Rasional : mempertahankan volume sirkulasi, mendukung terjadinya perfusi jaringan.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi; tidak mengenal sumber informasi; keterbatasan kognitif.
Tujuan dan kriteria hasil :
1) Menuturkan pemahaman kondisi, efek prosedur dan pengobatan.
2) Dengan tepat menunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan suatu tindakan.
3) Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam program perawatan.
Intervensi :
1) Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan harapan masa datang.
Rasional : sediakan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan.
2) Tinjau ulang penghindaran faktor-faktor risiko, misalnya pemajanan pada lingkungan/orang yang terinfeksi.
Rasional : mengurangi potensial untuk infeksi yang diperoleh.
3) Identifikasi keterbatasan aktivitas khusus.
Rasional : mencegah regangan yang tidak diinginkan dilokasi operasi.
4) Jadwalkan periode istirahat adekuat.
Rasional : mencegah kepenatan dan mengumpulkan energi untuk kesembuhan.
5) Ulangi pentingnya diet nutrisi dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : sediakan elemen yang dibutuhkan untuk regenerasi/penyembuhan jaringan dan mendukung perfusi jaringan dan fungsi organ.
6) Tekankan pentingnya kunjungan lanjutan.
Rasional : memantau perkembangan penyembuhan dan mengevaluasi keefektivan regimen.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan di pilih untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan dan tujuan pemulangan (Doenges, 2000).
Menurut Potter dan Perry (1997) implmentasi merupakan kategori dari perilaku keperawatan, dimana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan (Haryanto, 2008).
Implementasi merupakan tahap pelaksanaan perencanaan keperawatan untuk perawat dan klien. Hal-hal yang perlu di perhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat. Keamanan fisik dan psikologis dilindungi serta dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.
Dalam tahap pelaksanaan perlu adanya dokumentasi yang merupakan suatu tahap dimana tindakan keperawatan yang telah dilakukan kepada pasien maupun keluarganya dicatat dalam catatan keperawatan. Pada pendokumentasian ini harus meliputi tanggal, jam, pemberian tindakan, jenis tindakan, respon pasien, serta paraf dan nama perawat yang melakukan tindakan.
5. Evaluasi
Merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, dimana merupakan alat pengukur keberhasilan dari suatu rencana keperawatan yang dituliskan dalam catatan perkembangan.
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk mementukan apakah hasilnya sudah tercapai atau belum dlam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges, 2000)
Terdapat dua tipe dokumentasi evaluasi yaitu evaluasi formatif yang memyatakan tentang evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera dan evaluasi sumatif yang merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisa status pasien pada waktu tertentu.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan :
a. Tujuan teratasi sebagian
Jika klien menunjukkan perubahan sebagian Kriteria yang telah ditetapkan
b. Masalah belum teratasi
Jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
c. Masalah teratasi
Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan








BAB III
TINJAUAN KASUS

Pada bab ini mengemukakan hasil dari pelaksanaan asuhan keperawatan yang dimulai dengan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pada klien Tn. J dengan diagnosa Abses Perianal Post Debridement, yang dirawat di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD Tarakan.
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 Juli 2011 dan telah diperoleh data sebagai berikut :
1. Biodata
Klien bernama Tn. J, masuk rumah sakit pada tanggal 23 Agustus 2011, umur klien 37 tahun, status perkawinan menikah, jenis kelamin laki-laki, agama Islam, pendidikan terakhir SMP, pekerjaan swasta, diagnosa medis Abses Perianal Post Debridement dengan nomor register 14.34.XX.
2. Riwayat keperawatan
a. Keluhan utama
1) Saat masuk rumah sakit (tanggal 23 Juli 2011) klien mengatakan nyeri/keram pada kedua tungkai/kaki.
2) Saat dikaji (tanggal 25 Juli 2011) klien mengatakan nyeri pada daerah luka operasi bagian dekat anus
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengatakan nyeri pada daerah luka operasi pada bagian dekat anus sebelah kiri, yang dirasakan panas dengan skala 6 (sedang), nyeri yang dirasakan hilang timbul dengan durasi  10 menit, klien mengatakan nyeri bertambah berat pada saat klien bergerak, dan klien merasa ringan pada saat klien berbaring, klien tampak lemah.
c. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan pernah masuk rumah sakit sekitar dua minggu yang lalu karena operasi ambeien, klien juga hanya mengalami batuk pilek dan demam, klien mengatakan tidak memiliki alergi baik makanan maupun obat-obatan, klien juga mengatakan tidak mempunyai penyakit tekanan darah tinggi atau penyakit gula darah.
d. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit yang sama dengan dirinya dan tidak ada yang mempunyai penyakit gula darh atau tekanan darah tinggi. keluarga klien hanya saja mengalami batuk pilek dan demam.





e. Genogram keluarga





Bagan 3.1 Genogram keluarga
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Garis Perkawinan
: Garis keturunan
? : Tidak diketahui
: Tinggal serumah
: Klien
3. Data psiko sosial ekonomi
Klien berharap cepat sembuh dari penyakit yang dideritanya dan ingin sekali berkumpul dengan keluarganya. Klien juga mengatakan lega dan bersyukur karena operasinya berjalan dengan baik. Klien kooperatif dan mampu berinteraksi dengan orang lain, Klien berkomunikasi dengan menggunakan bahasa indonesia selama di rumah sakit kien ditemani oleh keluarganya.
4. Data spiritual
Klien beragama islam, klien mengatakan sebelum sakit klien rajin sholat lima waktu, sedangkan selama dirumah sakit klien mengatakan tetap berdoa atas kesembuhannya, tetapi klien tidak pernah melaksanakan sholat lima waktu karena keadaan tidak memungkinkan.
5. Pola kebiasaan sehari-hari
a. Nutrisi (makan dan minuman)
1) Di rumah
Klien mengatakan makannya baik, klien makan tiga kali sehari dengan menu makanan adalah nasi, lauk dan sayuran, klien tidak mengalami kesulitan menelan, cara pemenuhan melalui oral (mulut) klien tidak memiliki makanan pantangan, klien biasanya minum air putih  6-8 gelas/hari.
2) Di rumah sakit
Klien mengatakan selama di rumah sakit klien juga tidak mengalami kesulitan untuk makan, klien menghabiskan porsi yang disediakan oleh ahli gizi di rumah sakit, klien tidak memiliki makanan pantangan dan juga obat-obatan. Selama di rumah sakit klien sering minum air putih  4-7 gelas, klien juga terpasang infus dengan cairan RL 20 tetes/menit (2000 cc)



b. Eliminasi
1) Di rumah
Klien mengatakan BAB sekali dalam sehari dengan konsistensi lunak, warna kecoklatan, klien tidak mengalami gangguan BAB, klien juga mengatakan BAK ± 4-5 kali sehari dengan konsistensi cair dan warna kekuning-kuningan.
2) Di rumah sakit
Klien mengatakan selama di rumah sakit sudah tiga hari belum pernah BAB, sedangkan BAK biasanya 3-4 kali sehari.
c. Istirahat dan tidur
1) Di rumah
Klien mengatakan biasanya tidur malam pada pukul 22.00-05.00 pagi WITA. Dan tidur siang biasanya klien tidak tidur karena pergi bekerja, klien mengatakan tidak memiliki kebiasaan sebelum tidur.
2) Di rumah sakit
Klien mengatakan selama dirumah sakit klien tidur pada pukul 21.00 dan klien biasanya bangun pada pukul 05.00, klien mengatakan tidak mengalami gangguan tidur. Klien dapat beristirahat dengan tenang.



d. Aktivitas dan gerak
1) Di rumah
Klien biasanya melakukan olahraga dan bekerja, klien juga sering menonton TV dan berkumpul dengan keluarga.
2) Di rumah sakit
Klien mengatakan setelah dioperasi klien hanya berbaring di atas tempat tidur karena masih mengalami nyeri pada daerah operasi, pada saat dikaji semua aktivitas klien dibantu oleh keluarga.
e. Personal hygiene
1) Di rumah
Klien selama di rumah membersihkan diri (mandi) dilakukan secara mandiri tanpa bantuan keluarga/orang lain. Klien mandi 2 kali sehari dengan menggunakan sabun, sampo, dan menggosok gigi.
2) Di rumah sakit
Klien mengatakan selama dirawat di rumah sakit klien sering mandi dan sebelum dilakukan tindakan operasi klien sudah mandi dan menggosok gigi. Setelah dilakukan tindakan operasi klien hanya saja menyeka badannya dan menggosok gigi seperti biasanya (3 kali sehari yaitu pagi, sore dan sebelum tidur).


6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
1) Kesadaran (GCS)
Klien tampak lemah dengan kesadaran Compos Mentis E4 M6 V5.
2) Antropometri
TB : 145 cm
BB : 53 Kg
b. Tanda-tanda vital
TD : 110/80 mmHg S : 36C
N : 96 kali/menit RR : 21 kali/menit
c. Kepala
1) Rambut
Rambut klien merata seluruh kepala dan lebih tebal, lurus dan berwarna hitam, panjang rambut  5 cm, tidak ada massa/benjolan dan tidak berketombe.
2) Kulit kepala
Tidak ada benjolan/massa pada kepala dan tidak terdapat nyeri tekan.
3) Wajah
Ekspresi wajah klien meringis, wajah klien simetris dan tidak terdapat pembengkakan, klien dapat mengunyah dengan sama sisi antara kiri dan kanan

4) Mata
Alis mata merata antara kiri dan kanan, kelopak mata tidak ada nyeri tekan, bola mata simetris antara kiri dan kanan, konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis) dan sklera tidak ikterik, pupil pada saat diberikan refleks cahaya pupil akan miosis dan isokor.
5) Mulut
Mulut klien bersih, klien merasa ingin muntah pada saat diberikan sentuhan pada palatum dengan menggunakan tong spatel.
6) Bibir
Bibir klien simetris antara atas dan bawah, mukosa bibir lembab, tidak terdapat labioskizis dan palatoskizis.
7) Hidung
Lubang hidung simetris antara kiri dan kanan, tidak terdapat sekret pada lubang hidung, mukosa lubang hidung berwarna merah muda dan terdapat silia.
8) Telinga
Telinga simetris antara kiri dan kanan, tidak ada nyeri tekan, tidak terdapat serumen, klien dapat mendengarkan detak jarum jam.
d. Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid, tidak terdapat nyeri tekan, nadi karotis teraba dan tidak terdapat peningkatan vena jugularis.

e. Dada
Bentuk dada normal chest, simetris antara kiri dan kanan, tidak terdapat adanya penggunaan otot bantu napas, pada saat di palpasi tidak ada massa, getaran dinding dada simetris antara kiri dan kanan, perkusi dada sonor, suara napas vesikuler di seluruh lapang paru, pada saat diauskultasi tidak ada bunyi napas tambahan.
f. Abdomen
Pada saat diinspeksi abdomen terlihat kembung, warna kulit kecoklatan, tidak ada massa/memar, pada saat diauskultasi bising usus 4 kali/menit, pada saat diperkusi terdengar timpani, pada saat dipalpasi tidak terdapat adanya massa/pembengkakan.
g. Genetalia dan rektum
Pada daerah genetalia tidak dilakukan pengkajian, sedangkan pada daerah dekat anus terdapat luka operasi luka berwarna merah, dengan panjang luka  3 cm dan lebar luka  2 cm.
h. Tungkai
Pada tungkai tidak terdapat kelainan seperti pembengkakan, deformitas, tidak terdapat nyeri tekan atau benjolan, kedua tungkai simetris antara kiri dan kanan, pada saat uji reflek patella terjadi gerakan ekstensi pada tungkai bawah, uji reflek babinski positif.
Skor kekuatan otot pasien :
5 5
5 5
i. Punggung
Bentuk tulang belakang tidak ada kelainan, tidak terdapat massa maupun nyeri tekan.
j. Lengan
Inspeksi kedua lengan simetris antara kiri dan kanan, dimana tangan kiri terpasang infus dengan cairan RL 20 tts/menit, tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi seperti tumor, rubor, dolor, kalor maupun fungtiolesa, pada tempat pemasangan infus tersebut.
k. Kulit
Warna kulit kecoklatan, tidak terdapat parut, kulit klien teraba hangat, terdapat luka operasi pada bagian dekat anus dengan panjang luka  3 cm dan lebar luka  2 cm, warna luka kemerahan.
7. Pemeriksaan penunjang
Sabtu, 23 Juli 2011
Pemeriksaan Laboratorium
WBC 8,4 x 103 /µL 4-12 ribu/mm3
RBC 5,88 x 106 /µL Lk 4,5-6 Pr 4,0-5,5
HGB 16,7 g/dl Lk 14-18 Pr 12-16
HCT 49,2 % Lk 40-48 % Pr 37-42 %
MCV 83,7 fl 82-92 fl
MCH 28,4 Pg 27-31 Pg
MCHC 33,9 g/dl 32-37 g/dl
PLT 276 x 103 /µL 151-450 ribu /mm3
Masa perdarahan (BT) 1 menit < 3menit Masa pembekuan (CT) 3 menit < 15 menit 8. Penatalaksanaan/therapy/diet RL 20tts/menit Ketorolac 2 x 30 mg Cefotaxime 2 x 1 gram 9. Data fokus a. Data subjektif 1) Klien mengatakan nyeri pada luka operasi bagian dekat anus. 2) Klien mengatakan tidak BAB selama 3 hari. 3) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan panas dengan skala 6 (sedang). 4) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul dengan durasi  10 menit. 5) Klien mengatakan nyeri bertambah berat pada saat klien bergerak. 6) Klien mengatakan terasa ringan pada saat klien berbaring. 7) Klien mengatakan setelah dilakukan tindakan operasi hanya berbaring diatas tempat tidur karena masih mengalami nyeri. b. Data objektif 1) Klien tampak lemah 2) Ekspresi wajah meringis 3) Seluruh kegiatan dibantu oleh keluarga 4) Bising usus 4 x/menit 5) Terdapat luka operasi dekat anus dengan panjang luka  3 cm dan lebar luka  2 cm. 6) Warna luka berwarna merah. 7) Klien tampak berbaring ditempat tidur. 8) Abdomen terlihat kembung. 10. Analis data a. Analisa Data I 1) Data subjektif a) Klien mengatakan nyeri pada luka operasi pada bagian dekat anus. b) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan panas dengan skala sedang (6). c) Nyeri yang dirasakan hilang timbul dengan durasi  10 menit. d) Klien mangatakan nyeri bertambah berat pada saat klien bergerak. e) Klien mengatakan nyeri terasa ringan ketika klien berbaring. 2) Data objektif a) Ekspresi wajah meringis b) Terdapat luka operasi pada bagian dekat anus dengan panjang luka 3 cm dan lebar luka 2 cm. Masalah : nyeri akut Penyebab : proses tindakan pembedahan b. Analisa Data II 1) Data subjektif Klien mengatakan tidak BAB selama tiga hari. 2) Data objektif a) Bising usus 4 x/menit b) Abdomen tampak kembung c) Perkusi abdomen timpani Masalah : konstipasi Penyebab : penurunan motilitas usus c. Analisa Data III 1) Data subjektif : - 2) Data objektif a) Terdapat luka operasi pada bagian dekat anus dengan panjang luka  3 cm dan lebar  2 cm. b) Warna kulit berwarna merah. Masalah : kerusakan integritas kulit Penyebab : adanya luka insisi bedah d. Analisa Data IV 1) Data subjektif Klien mengatakan setelah dilakukan tindakan operasi, klien hanya berbaring diatas tempat tidur. 2) Data objektif a) Klien tampak lemah b) Klien terlihat hanya berbaring diatas tempat tidur. Masalah : intoleran aktivitas Penyebab kelemahan fisik B. Diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas 1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah. 3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. 4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus. C. Rencana keperawatan Tgl 25 Juli 2011 1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam nyeri dapat teratasi, dengan kriteria hasil : a. Skala nyeri sedang (2-3) b. Klien rileks c. Nyeri berkurang atau hilang Intervensi : a. Kaji karakteristik nyeri, lokasi dan intensitas nyeri b. Berikan posisi yang nyaman yaitu posisi semi fowler c. Ajarkan dan anjurkan tekhnik relaksasi napas dalam d. Kolaborasi dalam pemberian analgesik 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam kerusakan integritas kulit membaik dengan kriteria hasil : a. Luka terlihat kering b. Tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kolor dan fungtiolasea) Intervensi : a. Observasi luka secara periodik. b. Berikan perawatan luka secara rutin. c. Menganjurkan klien untuk merubah posisi sesering mungkin. d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi. 3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Tujuan : Setelah dilakukan tinadakan keperawatan 1 x 24 jam intoleran aktivitas dapat teratasi dengan kriteria hasil : a. Klien dapat melakukan aktivitas ringan b. Klien dapat melakukan perawatan diri Intervensi : a. Kaji kemampuan klien untuk melakukan aktivitas b. Anjurkan klien untuk banyak beristirahat c. Berikan bantuan aktivitas perawatan diri sesuai indikasi d. Anjurkan keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan klien. 4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil: a. Bising usus normal (5-35 x/menit) b. Klien melaporkan sudah bisa BAB c. Perut klien tidak kembung Intervensi : a. Auskultasi bising usus b. Anjurkan klien untuk minum banyak air (6-8 gelas/hari) c. Kolaborasi dalam pemberian obat contoh : untuk lunak feses d. Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur lalu berjalan D. Implementasi Senin, 25 Juli 2011 1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan Jam 11.35 a. Mengkaji tingkat nyeri, lokasi dan intensitas nyeri S : klien mengatakan terasa nyeri pada lokasi operasi O : terlihat luka operasi dekat anus Jam 11.40 b. Mengajarkan dan Menganjurkan tekhnik relaksasi napas dalam S : klien mengatakan nyeri berkurang O : klien tampak mendemonstrasikan tekhnik yang diajarkan klien tampak rileks Jam 11.45 c. Memberikan posisi yang nyaman S : klien mengatakan nyeri berkurang setelah merubah posisi O : klien diberikan posisi semi fowler Jam 17.00 d. Kolaborasi dalam pemberian analgesik (ketorolac 30 mg) S : - O : klien terlihat tenang setelah diberikan obat Tidak ada alergi pada saat diberikan obat Jam 18.10 e. Menganjurkan melakukan tekhnik relaksasi napas dalam S : klien mengatakan nyeri berkurang O : klien tampak rileks 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah Jam 17.05 a. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik (cefotaxime 1 gram) S : - O : klien terlihat tenang setelah diberikan obat Tidak ada alergi pada saat diberikan obat Jam 18.00 b. Mengobservasi luka S : - O : warna luka berwarna merah Panjang luka  3 cm dan lebar luka  2 cm Jam 18.05 c. Menganjurkan klien untuk merubah posisi sesering mungkin S : klien mengatakan akan melakukan anjuran O : klien merubah posisi 3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Jam 11.40 a. Mengkaji kemampuan klien untuk melakukan aktivitas S : klien mengatakan setelah dioperasi klien hanya berbaring diatas tempat tidur O : klien berbaring terlentang Jam 11.55 b. Menganjurkan klien untuk banyak beristirahat S : klien mengatakan akan melakukan anjuran O : klien beristirahat dengan berbaring Jam 12.00 c. Menganjurkan keluarga klien untuk berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan klien S : keluarga klien mengatakan akan melakukan anjuran O : keluarga klien tampak menganggukkan kepala pada saat diberikan Anjuran 4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus Jam 12.10 a. Mengauskultasi bising usus S : klien mengatakan belum pernah BAB selama 3 hari O : bising usus 4 x/menit Jam 12.15 b. Menganjurkan klien untuk banyak minum air (6-8 gelas/hari) S : klien mengatakan akan minum air yang banyak O : klien tampak minum air 1 gelas pada saat dikaji Selasa, 26 Juli 2011 1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan Jam 07.40 a. Mengkaji karakteristik nyeri S : klien mengatakan nyerinya sudah mulai berkurang O : klien terlihat lebih rileks Jam 08.00 b. Menganjurkan klien untuk melakukan tehnik relaksasi napas dalam S : klien mengatakan akan melakukan anjuran O : klien melakukan tehnik relaksasi dengan benar Jam 15.00 c. Berkolaborasi dalam pemberian analgesik S : - O : klien terlihat tenang Menginjeksikan obat ketorolac 30 mg Jam 15.10 d. Memberikan posisi yang nyaman S : klien mengatakan nyeri berkurang setelah merubah posisi O : klien diberi posisi semi fowler Jam 22.00 e. Mengkaji karakteristik nyeri S : klien mengatakan nyeri sudah berkurang O : klien terlihat lebih rileks 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah Jam 10.00 a. Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sesering mungkin S : klien mengatakan akan melakukan anjuran O : klien mengubah posisi Jam 10.20 b. Mengobservasi luka S : - O : warna luka merah, tidak ada pus. Jam 10.25 c. Memberikan perawatan luka S : - O : luka terlihat bersih Jam 15.05 d. Berkolaborasi dalam pemberian antibiotik S : - O : klien terlihat tenang Menginjeksikan cefotaxime 1 gram Jam 22.10 e. Menganjurkan klien untuk mengubah posisi S : klien mengatakan akan mengubah posisinya O : klien dalam posisi semi fowler 3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Jam 07.10 a. Mengkaji kemampuan klien dalam beraktivitas S : klien memgatakan sudah mampu ke kamar mandi O : klien tampak berjalan sendiri ke kamar mandi Jam 07.20 b. Menganjurkan klien untuk banyak beristirahat S : klien mengatakan akan banyak beristirahat. O : - Jam 07.25 c. Menganjurkan keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan klien S : klien mengatakan sudah bisa beraktivitas tanpa dibantu keluarga O : - 4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus Jam 07.30 a. Mengauskultasi bising usus S : - O: bising usus 8 x/menit Jam 07.35 b. Menganjurkan klien untuk minum air yang banyak (6-8 gelas/hari) S : klien mengatakan akan minum air yang banyak O : klien tampak minum air putih 1 gelas Rabu, 27 Juli 2011 1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan Jam 07.10 a. Mengkaji karakteristik nyeri S : klien mengatakan nyeri sudah berkurang O : klien terlihat rileks Jam 07.15 b. Memberikan posisi yang nyaman S : klien mengatakan nyaman saat beri posisi setengah berbaring O : klien diberi posisi semi fowler 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah Jam 08.30 a. Menganjurkan klien untuk mengubah posisi S : - O : klien mengubah posisi dari posisi semi fowler manjadi miring Kanan 3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus Jam 07.00 a. Mengauskultasi bising usus S : - O : bising usus 15 x/menit E. Evaluasi Selasa, 26 Juli 2011 Diagnosa ke 3 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Jam 13.00 S : klien mengatakan mampu melakukan aktivitas ringan seperti ke kamar mandi klien mengatakan dapat melakukan perawatan diri O : klien tampak berjalan secara mandiri kekamar mandi Klien dapat bangun sendiri dari tempat tidur A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan Rabu, 27 Juli 2011 Diagnosa ke 1 : Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan Jam 10.30 S : klien mengatakan nyeri yang dirasakan sudah berkurang O : skala nyeri ringan (2) Klien rileks A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan Diagnosa ke 2 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah Jam 10.35 S : klien mengatakan sudah dilakukan perawatan luka O : luka terlihat kering Tidak terdapat adanya infeksi seperti rubor, dolor, kalor, tumor) A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan Diagnosa ke 4 : Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus Jam 10.35 S : klien mengatakan sudah bisa BAB O : bising usus 15 x/menit Perut klien tidak kembung A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas tentang kesenjangan antara landasan teori asuhan keperawatan yang ditemukan pada Tn. J dengan diagnosa Abses Perianal Post Debridement di ruang perawatan bedah Flamboyan RSUD TK. I Tarakan. Pada pembahasan ini dimulai dengan membahas asuhan keperawatan terhadap klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi lima tahap yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan asuhan keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. A. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap pertama dari proses keperawatan yang menjadi dasar dalam menentukan tindakan keperawatan, dengan pengumpulan data yang sistematis dan akurat dapat diketahui masalah keperawatan yang dihadapi klien. Pada tahap ini, penulis tidak mengalami banyak hambatan dalam pengumpulan data, hal ini karena klien dan keluarganya sangat kooperatif dalam memberikan informasi kesehatan yang dibutuhkan penulis. Tetapi terdapat beberapa kesulitan dalam melakukan pengkajian data secara teori karena kurangnya materi tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Abses Perianal Post Debridement. Pada saat melakukan pengkajian data keperawatan klien dengan Abses Perianal Post Debridement, penulis menemukan beberapa perbedaan dari teori (Doengoes, 2000). Perbedaan tersebut adalah data-data yang dapat timbul pada pasien post operasi tetapi data tersebut tidak muncul pada klien, yaitu: g. Sirkulasi Menurut Doengoes (2000) pasien dengan pasca operasi dapat mengalami gangguan sirkulasi, terutama dengan riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer, atau statis vaskular (peningkatan risiko pembentukan trombus). Gagal jantung kongesti adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Manifestasi klinis dari gagal jantung kongesti yaitu dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi, kecemasan, edema, hepatomegali, anoreksia, nokturia dan asites (Smeltzer dan Bare, 2001). Pada saat dilakukan pengkajian klien tidak ditemukan data-data yang mengganggu sirkulasi klien, karena klien tidak mempunyai penyakit tekanan darah tinggi atau penyakit gula darah, dan tanda-tanda vital klien dalam batas normal TD : 110/80 mmHg, nadi 96 kali/menit. h. Cemas Menurut Nanda (2010) cemas adalah perasaan gelisah yang tidak jelas dari ketidaknyamanan seseorang/ketakutan yang disertai respon autonom (sumber tidak spesifik/tidak diketahui oleh individu). Pada kasus klien tidak ada data-data tersebut dan klien mengatakan lega dan bersyukur karena operasinya berjalan dengan baik. klien mengatakan tidak mengalami gangguan tidur. i. Nutrisi Malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas. Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan makanan maupun adanya gangguan terhadap absorbsi, pencernaan dan penggunaan zat gizi dalam tubuh (Tunjungputri, 2009). Tanda-tanda penderita gizi buruk (malnutrisi) secara umum orang dewasa adalah berat badan kurang dari indeks masa tubuh normal yakni di bawah 18,5 kg/m2, kulit menjadi tipis dan kusam, daya tahan tubuh menjadi menurun dan mudah terkena infeksi, pada penderita gizi buruk kasus berat dapat menimbulkan bengkak di seluruh tubuh (Chandrawinata, 2010). Pada saat pengkajian mukosa bibir klien lembab, klien tidak mengalami kesulitan untuk makan, klien menghabiskan porsi yang disediakan oleh ahli gizi di rumah sakit, klien tidak memiliki makanan pantangan dan juga obat-obatan. j. Pernapasan Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seseorang yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, pernapasan cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi (Price dan Wilson, 2005). Pada saat pengkajian tidak terdapat adanya penggunaan otot bantu napas, pada saat diauskultasi tidak ada bunyi napas tambahan, frekuensi pernapasan 21 kali /menit, klien tidak merokok. k. Keamanan Menurut Carpenito (2000) resiko infeksi merupakan suatu kondisi di mana individu beresiko terkena agen oportunitis atau patogenis (virus, jamur, bakteri, protozoa atai parasit lain) dari berbagai sumber dari dalam ataupun dari luar tubuh. Adapun menurut Doengoes (2000) gejala dan tanda resiko infeksi yang timbul yaitu : alergi atau sensitif terhadap obat, makanan, plester, dan larutan, defisiensi imum (peningkatan risiko infeksi sistemik dan penundaan penyembuhan), munculnya kanker/terapi kanker terbaru, riwayat penyakit hepatik (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi), riwayat transfusi darah/reaksi transfusi, munculnya proses infeksi yang melelahkan; demam. Pada saat pengkajian kulit klien teraba hangat, S : 36C, tidak ada tanda-tanda infeksi, WBC 8,4 x 103 /µL, HGB 16,7 g/dl. B. Diagnosa keperawatan Dalam merumuskan diagnosa keperawatan penulis menemukan beberapa perbedaan antara teori dan kasus. Menurut Dongoes (2000) ada tujuh diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada pasien dengan abses perianal post debridemant, yaitu: h. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan perseptual/kognitif; peningkatan ekspansi paru, energi; obstruksi trakeobronkial. i. Perubahan persepsi/sensori; perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obatan farmasi, hipoksia; lingkungan terapeutik yang terbatas: stimulus sensori yang berlebihan; stres fisiologis. j. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa mual); hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti melalui kateter, selang, jalur normal seperti muntah; pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah; usia dan berat badan yang berlebihan. k. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot, trauma muskuloskeletal/tulang; munculnya saluran dan selang. l. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan interupsi mekanis pada kulit/jaringan; perubahan sirkulasi, efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drein; perubahan status metabolis. m. Resiko tinggi terhadap/perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran vena, arteri; hipervolemik. n. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi; tidak mengenal sumber informasi; keterbatasan kognitif. Sedangkan pada pengkajian pada Tn. J diagnosa-diagnosa yang dapat ditegakkan adalah: 5. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan. 6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah. 7. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. 8. Konstipasi berhubungan dengan penurunan mobilitas fisik. Dari kedua hal tersebut diatas dapat dilihat dimana terjadi perbedaan/kesenjangan antara diagnosa berdasarkan kepustakaan pada pasien abses perianal post debridement dengan diagnosa yang ditemukan pada Tn. J, yaitu : 1. Diagnosa kepustakaan yang tidak ditemukan pada pasien, adalah : a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan perseptual/kognitif; peningkatan ekspansi paru, energi; obstruksi trakeobronkial. Menurut Carpenito (2000) Pola nafas tidak efektif dapat diangkat ketika suatu kondisi dimana individu mengalami aktual atau potensial tidak adekuatnya ventilasi berhubungan dengan perubahan pola napas. Batasan karakteristik mayor : perubahan frekuensi atau pola pernapasan (dari biasanya), perubahan nadi (frekuensi, irama, dan kualitas). Batasan karakteristik minor : ortopnea, takipnea, hiperpnea, hiperventilasi, irama pernapasan tidak teratur, pernapasan yang berat. Pada saat penulis melakukan pengkajian tidak ditemukan data-data yang mendukung untuk merumuskan diagnosa tersebut. Adapun data-data yang ditemukan pada Tn. J pola napas klien efektif dengan frekuensi pernapasan 21 kali/menit dan nadi 96 kali/menit, tidak ada menggunakan otot bantu pernapasan. b. Perubahan persepsi/sensori; perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obatan farmasi, hipoksia; lingkungan terapeutik yang terbatas: stimulus sensori yang berlebihan; stres fisiologis. Menurut Carpenito (2000) perubahan proses pikir dapat diangkat ketika suatu keadaan dimana individu mengalami gangguan pada aktivitas mental seperti berpikir sadar, orientasi realitas, penyelesaian masalah, keputusan, dan pemahaman yang berhubungan dengan gangguan koping, kepribadian, dan/atau mental. Batasan karakteristik : defek kognitif, meliputi penyelesaian masalah, abstraksi, defisit memori; curiga, delusi, halusinasi, fobia, obsesi, distraktibilitas, kurangnya validasi konsensual, bingung/disorientasi, perilaku ritualistis, impulsif, perilaku sosial tidak tepat. Dari hasil pengkajian yang penulis lakukan tidak ditemukan data yang menunjang untuk pengangkatan diagnosa tersebut, Sedangkan pada pengkajian klien mampu berkomunikasi, dan mampu mengenal orang, tempat dan waktu, sehingga diagnosa tersebut tidak dapat ditegakkan. c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa mual); hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti melalui kateter, selang, jalur normal seperti muntah; pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah; usia dan berat badan yang berlebihan. Menurut Carpenito (2000) kekurangan volume cairan dapat diangkat ketika keadaan dimana seseorang yang tidak makan dan minum peroral mempunyai resiko terjadinya dehidrasi vaskuler, interstisial atau intraseluler. Batasan karakteristik mayor : ketidakcukupan masukan cairan peroral, tidak adanya keseimbangan antara asupan dan haluran, membran mukosa/kulit kering, berat badan kurang. Batasan karakteristik minor : meningkatnya natrium darah, menurunnya haluaran urin atau haluaran urin berlebihan, sering berkemih, turgor kulit menurun, haus/mual/anoreksia. Pada saat melakukan pengkajian, penulis tidak menemukan data-data yang menunjang untuk mengangkat diagnosa tersebut, sehingga penulis tidak mencantumkan diagnosa Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan pada kasus Tn. J. Adapun data-data yang ditemukan pada Tn. J mukosa bibir lembab, klien minum air  4-7 gelas/hari, klien juga terpasang infus dengan cairan RL 20 tetes/menit (2000 cc), klien BAK biasanya 3-4 kali sehari. d. Resiko tinggi terhadap/perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran vena, arteri; hipervolemik. Menurut Carpenito (2000) perubahan perfusi jaringan dapat ditegakkan ketika keadaan dimana individu mengalami atau beresiko tinggi mengalami penurunan nutrisi dan pernapasan pada tingkat seluler karena penurunan suplai darah kapiler. Batasan karakterstik mayor : klaudikasi, nyeri istirahat, nyeri sakit, penurunan atau tak adanya nadi arteri, perubahan warna kulit (pucat, sianosis, hiperemia reaktif), perubahan suhu kulit, penurunan tekanan darah, pengisian kapiler lebih lama dari 3 detik. Karakteristik minor : edema, perubahan fungsi sensorik, motorik dan perubahan jaringan tropik (kuku keras, kehilangan rambut, luka tidak sembuh). Pada saat melakukan pengkajian, penulis tidak menemukan data-data yang menunjang untuk menegakkan diagnosa tersebut. Adapun data yang ditemukan pada Tn. J kulit teraba hangat, TD : 110/80 mmHg, S : 36C, N : 96 kali/menit, RR : 21 kali/menit, konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), HGB 16,7 g/dl. e. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi; tidak mengenal sumber informasi; keterbatasan kognitif. Menurut Carpenito (2000) Kurang pengetahuan dapat ditegakkan ketika suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami kekurangan kognitif atau keterampilan psikomotor mengenai suatu keadaan dan rencana tindakan pengobatan. Batasan karakteristik mayor : menyatakan kurangnya pengetahuan atau keterampilan/meminta informasi, mengekspresikan persepsi yang “tidak akurat” terhadap kondisi kesehatannya, menampilkan secara tidak tepat perilaku sehat yang diinginkan atau sudah ditentukan. Karakteristik minor : kurang integrasi rencana tindakan ke dalam kegiatan sehari-hari, menunjukkan atau mengekspresikan gangguan psikologis misalnya cemas, depresi yang diakibatkan salahnya informasi atau kurangnya informasi. Pada saat melakukan pengkajian, penulis tidak menemukan data-data yang menunjang untuk mengangkat diagnosa tersebut, sehingga penulis tidak mencantumkan diagnosa kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan pada kasus Tn. J. Adapun data-data yang ditemukan pada saat pengkajian Tn. J dan keluarga sudah mengetahui penyakit yang dideritanya dan sudah mengetahui perawatan pada saat pulang di rumah. 2. Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada Tn. J tetapi tidak sesuai dengan teori, adalah : a. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Penulis mengangkat diagnosa ini karena menurut Carpenito (2000) intoleran aktivitas dapat diangkat ketika penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai ketingkat yang diinginkan atau diperlukan. Batasan karakteristik mayor : perubahan respon fisiologi misalnya pernapasan (dispnea, napas pendek, frekuensi napas meningkat berlebihan, penurunan frekuensi), nadi (lemah, menurun, peningkatan yang berlebihan perubahan irama, gagal untuk kembali ketingkat sebelum aktivitas setelah 3 menit), tekanan darah (gagal meningkat dengan aktivitas, diastolik meningkat > 15mmHg ). Karakteristik minor : kelemahan, kelelahan, pucat atau sianosis, kacau mental, vertigo. Pada Tn. J mengalami kelemahan, semua aktivitas klien dibantu oleh keluarga, Klien tampak berbaring ditempat tidur.
b. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus.
Penulis mengangkat diagnosa ini karena menurut Carpenito (2000) konstipasi dapat diangkat ketika suatu keadaan dimana individu mengalami atau beresiko mengalami perlambatan pasase residu makanan yang mengakibatkan feses keras dan kering. Batasan karakteristik mayor : penurunan frekuensi, feses keras, mengejan saat defekasi, nyeri defekasi, distensi abdomen. Batasan karakteristik minor : tekanan pada rektal, sakit kepala, gangguan nafsu makan, nyeri abdomen. Pada Tn. J mengeluh tidak BAB selama 3 hari, Bising usus 4 x/menit, Abdomen terlihat kembung.
C. Rencana keperawatan
Dalam perencanaan, beberapa intervensi dalam penanganan masalah keperawatan yang ditegakkan pada Tn. J dan sesuai dengan kepustakaan tidak dicantumkan atau dijadikan pilihan oleh penulis, hal ini dikarenakan kemungkinan adanya kendala untuk pelaksanaan intervensi-intervensi tersebut.
1. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan.
Berdasarkan Doengoes (2000) adapun intervensi untuk penangan nyeri pada pasien dengan pascaoperasi adalah :
a. Evaluasi rasa sakit secara reguler (misalnya 2 jam x 12) catat karakteristik, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
b. Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, hipertensi dan peningkatan pernapasan, bahkan jika pasien menyangkal adanya rasa sakit
c. Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai indikasi
d. Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi fowler; miring.
e. Berikan obat sesuai petunjuk; Analgesik IV
Dari kelima intervensi keperawatan di atas, penulis hanya mencantumkan tiga dalam perencanaan keperawatan pada Tn. J dengan diagnosa abses perianal post debridement. Hal ini disebabkan karena sebelum dioperasi klien sudah mendapatkan informasi dari dokter dan perawat mengenai ketidaknyamanan yang akan dirasakan setelah dilakukan tindakan pembedahan.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah.
Berdasarkan Doengoes (2000) adapun intervensi untuk kerusakan integritas kulit pada pasien dengan pascaoperasi adalah :
7) Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka.
8) Tinggikan daerah yang dioperasi sesuai kebutuhan.
9) Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan bantal selama batuk atau bergerak.
10) Ingatkan pasien untuk tidak menyentuh daerah luka
11) Bersihkan permukaan kulit dengan menggunakan hidrogen peroksida atau dengan air yang mengalir dan sabun lunak setelah daerah insisi ditutup.
Dari kelima intervensi keperawatan di atas, penulis tidak mencantumkan satu pun intervensi tersebut dalam perencanaan keperawatan Tn. J pada diagnosa kerusakan integritas kulit karena klien tidak terpasang drain sehingga tidak memungkinkan untuk mengkaji jumlah dan karakteristik cairan luka, luka operasi klien terletak di dekat anus sehingga tidak memungkinkan untuk meninggikan daerah yang dioperasi dan tidak perlu menekan areal atau insisi abdominal dan dada, karena luka operasi adalah luka steril sehingga tidak memggunakan hidrogen peroksida atau dengan air yang mengalir dan sabun lunak dalam perawatan luka, selain itu klien juga telah dianjurkan oleh dokter dan perawat untuk tidak menyentuh daerah luka.
Adapun intervensi yang penulis rencanakan diambil dengan cara memilih dari semua intervensi pada diagnosa kerusakan integritas kulit. Intervensi yang penulis angkat, yaitu :
a. Observasi luka secara periodik.
b. Berikan perawatan luka secara rutin.
c. Menganjurkan klien untuk merubah posisi sesering mungkin.
d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
e. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Berdasarkan Doengoes (2000) intervensi keperawatan untuk intoleran aktivitas, penulis memilih intervensi yang ada pada setiap diagnosa intoleran aktivitas. Hal ini disebabkan karena penulis menyesuaikan dengan kondisi pasien yang lemah setelah dilakukan operasi dan Klien terlihat hanya berbaring di atas tempat tidur. Adapun intervensi yang penulis tegakkan, yaitu :
a. Kaji kemampuan klien untuk melakukan aktivitas
b. Anjurkan klien untuk banyak beristirahat
c. Berikan bantuan aktivitas perawatan diri sesuai indikasi
d. Anjurkan keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan klien.
e. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus.
Berdasarkan Doengoes (2000) intervensi keperawatan untuk penanganan konstipasi adalah :
a. Auskultasi bising usus
b. Anjurkan klien untuk minum banyak air (6-8 gelas/hari)
c. Kolaborasi dalam pemberian obat contoh : untuk lunak feses
d. Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur lalu berjalan
Dari keempat perencanaan di atas, semua perencanaan dicantumkan penulis ke dalam rencana perawatan konstipasi pada klien dengan abses perianal post debridement.
D. Implementasi
Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan, dalam hal ini penulis menggunakan fasilitas yang tersedia di rumah sakit maupun yang dibawa dari institusi, serta bekerja sama dengan perawat di ruang flamboyan untuk menghindari tindakan yang berulang pada asuhan keperawatan Tn. J.
Adapun intervensi yang tidak dilaksanakan sesuai rencana keperawatan yang telah ditetapkan pada Tn. J dengana abses perianal post debridement adalah : Kolaborasi dalam pemberian obat untuk lunak feses; Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur lalu berjalan; Berikan bantuan aktivitas perawatan diri sesuai indikasi.
Tidak dilaksanakannya intervensi tersebut dikarenakan penulis tidak melakukan kolaborasi dalam pemberian obat pelunak feses, klien sudah mampu duduk dan berjalan ke kamar mandi dengan mandiri serta keluarga klien senantiasa ada di samping klien untuk membantu dalam beraktivitas. Adapun intevensi yang penulis delegasikan ke perawat ruangan adalah pemberian obat pada jam 03.00, hal ini karena pada jam 22.00 sampai 06.30 penulis melakukan penyusunan intervensi tindakan untuk keesokan harinya.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari setiap rencana keperawatan tercapai atau tidak.
Pada proses keperawatan yang dilakukan pada Tn. J dengan abses perianal post debridement, dari empat diagnosa yang ditegakkan yaitu: Nyeri akut berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan; Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka insisi bedah; Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik; Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus dapat teratasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.









BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan penerapan asuhan keperawatan pada Tn. J dengan abses perianal post debridement yang dirawat di Ruang Perawatan Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, dan kemudian dilakukan pembahasan mengenai masalah kesehatan yang dialami oleh klien tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pelaksanaan proses asuhan keperawatan pada Tn. J dengan Abses Perianal Post Debridement dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 2011 sampai dengan 27 Juli 2011 bertempat di Ruang Perawatan Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan. Dalam pelaksanaan proses keperawatan penulis berupaya semaksimal mungkin untuk dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teori yang telah didapatkan pada saat perkuliahan. Proses keperawatan yang dilakukan oleh penulis pada Tn. J pada dasarnya dengan menggunakan metode ilmiah untuk pemecahan masalah, selain itu dapat juga dilihat dari segi kebutuhan dasar klien untuk memperoleh perawatan kesehatan serta asuhan keperawatan yang berkualitas. Dari proses keperawatan ini, sehingga penulis dapat menemukan data-data yang digunakan sebagai dasar penegakan diagnosa keperawatan dari permasalahan kesehatan yang klien alami, kemudian ditetapkan perencanaan tindakan keperawatan yang akan dilakukan serta dievaluasi untuk mengetahui tercapainya tingkat kompetensi baik dari pihak klien maupun dari keluarga klien, beserta perawat ataupun tim kesehatan lainnya.
2. Selama proses asuhan keperawatan berlangsung ditemukan beberapa kesenjangan yang menunjukkan adanya perbandingan antara landasan teori dan praktek asuhan keperawatan yang dilaksanakan pada Tn. J dengan abses perianal post debridement. Adapun kesenjangan tersebut terdapat pada pengkajian Sirkulasi, integritas ego, makanan/cairan, pernapasan dan keamanan. Diagnosa keperawatan pada pasien abses perianal post debridement yang seharusnya ada tujuh pada teori namun pada kasus hanya terdapat dua diagnosa yang sama, sedangkan pada kasus terdapat dua diagnosa yang tidak terdapat pada teori.
3. Dalam proses asuhan keperawatan secara efektif dan efisien terhadap beberapa faktor pendukung diantaranya kreativitas dan kemampuan beradaptasi penulis dalam menangani perubahan dan beberapa kejadian yang tidak diharapkan, sikap klien dan keluarga yang kooperatif dan terbuka serta kerjasama dalam setiap tindakan asuhan keperawatan yang diberikan, dan juga adanya dukungan dari semua pihak diantaranya para perawat dan dokter ruangan, termasuk rekan-rekan yang telah berperan aktif dalam memotivasi dan memberikan ide pada penulis. Adapun faktor penghambat yang ditemukan oleh penulis adalah kurangnya sumber-sumber informasi tentang abses perianal, adanya keterbatasan waktu dan juga sarana serta prasarana yang kurang memadai.
4. Pemecahan masalah yang dihadapi Tn. J dengan abses perianal post debridement dilakukan berdasarkan rencana asuhan keperawatan yang telah ditetapkan sesuai dengan landasan teori dan beberapa modifikasi oleh penulis karena adanya penyesuaian terhadap situasi dan kondisi yang berbeda. Dalam hal ini penulis berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan dan disusun dengan urutan yang diberikan oleh kampus.
B. Saran
Saran bagi pihak-pihak yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan asuhan keperawatan pada Tn. J dengan Abses Perianal Post Debridement di Ruang Perawatan Bedah Flamboyan RSUD Tarakan.
1. Dalam melakukan proses keperawatan yang dilakukan sebaiknya perawatan mampu meningkatkan kemampuan interpersonal, serta menguasai tehnik dan teori pengkajian sehingga dapat diperoleh data valid. Pada pasien dengan abses perianal penanganan untuk mengatasi masalah harus dilakukan secepatnya mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi yang mungkin akan timbul.
2. Untuk menjadi seorang perawat yang profesional hendakanya harus banyak membaca buku dan berwawasan luas dikarenakan banyak sekali perbedaan yang terjadi pada teori namun pada kenyataannya berbeda dengan kasus yang ada dilapangan.
3. Seorang perawat yang profesional dituntut untuk meningkatkan kreativitasnya agar mampu mengubah citra perawat menjadi lebih dijunjung lagi. Faktor penghambat yang ada dilapangan dapat diminimalkan jika perawatnya mampu membuat suatu inovasi/perencanaan masalah yang konkrit dan cepat mengambil keputusan dalam suatu masalah.
4. Untuk memecahkan masalah keperawatan tentunya diperlukan adanya pendekatan proses keperawatan dengan melakukan asuhan keperawatan yang meliputi tahap pengkajian, perumusan doagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi tindakan.